Selasa, 23 Oktober 2012

 PARADIGMA MAHASISWA

“Saya tidak mau menjadi mahasiswa kupu-kupu (kuliah-pulang-kuliah-pulang),” kata seorang kawan. Pilihan gaya mahasiswa memang beda-beda. Tergantung pada kenyamanan masing-masing. BAGI mahasiswa tertentu, kampus menjadi zona nyaman untuk menghabiskan sisa usia serta zona aman agar tidak dikatakan sebagai pengangguran. 

“Daripada nganggur di rumah lebih baik menjadi mahasiswa di kampus,” kata seorang teman. Saking nyaman menyandang status mahasiswa, tidak jarang sebagian mahasiswa rela menghabiskan jatah studi maksimum 14 semester. Dalih mereka banyak. Bagi yang merasa senior di sebuah organisasi mahasiswa, dalih nyaman hidup di kampus adalah untuk melakukan kaderisasi. Yang merasa mendapat kenyamanan finansial dari orang tua, dalih pembenaran mereka adalah memanfaatkan peluang selagi masih mendapatkan jaminan hidup. Tak apalah lama di kampus, toh masih ada yang menanggung.

Beda dari komunitas mahasiswa yang harus mandiri untuk menempuh perjalanan pendidikan. Dalih pembenaran di kampus bukan kenyamanan, melainkan “keterpaksaan”. Bagi mereka, menjadi mahasiswa adalah kesempatan untuk meraih gemilang masa depan. Karena itulah, banyak di antara mereka yang selama masih menjadi mahasiswa juga ikut berbagai kegiatan kampus atau sambil berkerja paro waktu.

Aktivitas di kampus adalah untuk memperkaya poin, bukan koin. Demi memenuhi kebutuhan, mereka rela berlama-lama di kampus, asal apa yang mereka impikan kelak tercapai. Empat tahun menjadi mahasiswa terasa kurang cukup waktu untuk melakukan usaha diri, menempa diri, mengembangkan diri. Sakralitas waktu mereka manfaatkan secara baik.

Pertanyaannya, lebih banyak mana mahasiswa yang merasa nyaman di kampus dan yang merasa terpaksa terus hidup di kampus? Memang belum ada penelitian mendalam tentang hal itu. Namun bila dilihat dari fenomena kehidupan dan gaya hidup di kampus, tak sulit menemukan banyak kelatahan di kalangan rakyat kampus. Gaya tutur, gaya tubuh, dan gaya bahasa ternyata masih menyisakan ironi dan kegenitan intelektual. Cara-cara bergaya itu ternyata terdukung oleh gaya arsitektur kampus dan lingkungan yang melingkupi. Karena banyak mahasiswa bersepeda motor atau bermobil ria ketika kuliah, pihak kampus pun tak segan menyediakan tempat parkir luas dan nyaman. Kebijakan praktis kampus bukan untuk mengatur agar mobilitas kendaraan tidak menyesaki ruang belajar, tetapi justru memperluas area parkir. Akibatnya, kampus tampak seperti mall yang kikuk menampung kendaraan.

Kenyamanan tempat makan juga membuat kampus harus menyediakan ruang kantin lebih besar. Bukan hanya mahasiswa yang diuntungkan, pihak kampus pun meraup untung dari sewa tempat para penjaja makanan di kantin. Kampus akhirnya seperti pasar, ramai tawaran dan permintaan makan-minum dari mahasiswa yang lapar atau sekadar nongkrong. Bergaya. Ruang kampus makin sesak dengan transaksi dan ekspresi gaya hidup mahasiswa.

Bagaimana dengan pusat studi? Dijamin, perpustakaan, majelis diskusi, seminar, dialog, dan lain-lain adalah tempat terasing dan singgahan terakhir bagi mahasiswa ketika ada tuntutan akademis: menulis makalah atau skripsi. Ia bukan ruang singgahan yang asyik untuk memanjakan diri. Perpustakaan adalah kegelapan yang sepi peminat. Padahal, ia merupakan jantung perguruan tinggi.

Sering Dibungkam Ruang-ruang sepi senyap itu hanya dinikmati kalangan mahasiswa yang merasa “terpaksa” melakoni diri sebagai rakyat kampus. Ada ejeken sinis dari sementara mahasiswa bahwa menghadiri acara-acara “tak bergaya” itu tidak menjamin masa depan. Perguruan tinggi juga kurang melirik aktivitas mereka. Tak ada kebijakan infrastruktur bermakna yang mewadahi komunitas-komunitas diskusi dan kelompok studi mahasiswa, yang dihuni rakyat kampus “terpaksa” itu. Sulit menemukan gedung yang khusus diperuntukkan bagi diskusi atau pentas seni, misalnya.

Dalam beberapa kasus, aktivitas mereka malah sering kali dibungkam secara birokratis. Teriakan pers mahasiswa acap tak didengar, bahkan dibungkam. Untuk menghadirkan pembicara dalam sebuah diskusi, kelompok kritis itu harus beraudiensi dulu dengan pengelola kampus, bila tidak ingin mendapatkan resistensi birokratis. Akhirnya, tak jarang hasrat intelektual mereka dikebiri. Hidup di kampus makin tak nyaman, kian tidak aman pula. Karena ketidaknyamanan yang kian tidak aman, mereka keluar kampus mencari napas kebaruan. Justru ketika bergabung dengan kelompok luar itulah mereka lebih bisa mengembangkan diri dan terbuka, baik untuk mencari proyek maupun mengembangkan sayap intelektual.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar