PARADIGMA MAHASISWA
“Saya tidak mau menjadi mahasiswa kupu-kupu
(kuliah-pulang-kuliah-pulang),” kata seorang kawan. Pilihan gaya
mahasiswa memang beda-beda. Tergantung pada kenyamanan masing-masing.
BAGI mahasiswa tertentu, kampus menjadi zona nyaman untuk menghabiskan
sisa usia serta zona aman agar tidak dikatakan sebagai pengangguran.
“Daripada nganggur di rumah lebih baik menjadi mahasiswa di kampus,”
kata seorang teman. Saking nyaman menyandang status mahasiswa, tidak
jarang sebagian mahasiswa rela menghabiskan jatah studi maksimum 14
semester. Dalih mereka banyak. Bagi yang merasa senior di sebuah
organisasi mahasiswa, dalih nyaman hidup di kampus adalah untuk
melakukan kaderisasi. Yang merasa mendapat kenyamanan finansial dari
orang tua, dalih pembenaran mereka adalah memanfaatkan peluang selagi
masih mendapatkan jaminan hidup. Tak apalah lama di kampus, toh masih
ada yang menanggung.
Beda dari komunitas mahasiswa yang harus mandiri untuk menempuh
perjalanan pendidikan. Dalih pembenaran di kampus bukan kenyamanan,
melainkan “keterpaksaan”. Bagi mereka, menjadi mahasiswa adalah
kesempatan untuk meraih gemilang masa depan. Karena itulah, banyak di
antara mereka yang selama masih menjadi mahasiswa juga ikut berbagai
kegiatan kampus atau sambil berkerja paro waktu.
Aktivitas di kampus adalah untuk memperkaya poin, bukan koin. Demi
memenuhi kebutuhan, mereka rela berlama-lama di kampus, asal apa yang
mereka impikan kelak tercapai. Empat tahun menjadi mahasiswa terasa
kurang cukup waktu untuk melakukan usaha diri, menempa diri,
mengembangkan diri. Sakralitas waktu mereka manfaatkan secara baik.
Pertanyaannya, lebih banyak mana mahasiswa yang merasa nyaman di kampus
dan yang merasa terpaksa terus hidup di kampus? Memang belum ada
penelitian mendalam tentang hal itu. Namun bila dilihat dari fenomena
kehidupan dan gaya hidup di kampus, tak sulit menemukan banyak kelatahan
di kalangan rakyat kampus. Gaya tutur, gaya tubuh, dan gaya bahasa
ternyata masih menyisakan ironi dan kegenitan intelektual. Cara-cara
bergaya itu ternyata terdukung oleh gaya arsitektur kampus dan
lingkungan yang melingkupi. Karena banyak mahasiswa bersepeda motor atau
bermobil ria ketika kuliah, pihak kampus pun tak segan menyediakan
tempat parkir luas dan nyaman. Kebijakan praktis kampus bukan untuk
mengatur agar mobilitas kendaraan tidak menyesaki ruang belajar, tetapi
justru memperluas area parkir. Akibatnya, kampus tampak seperti mall
yang kikuk menampung kendaraan.
Kenyamanan tempat makan juga membuat kampus harus menyediakan ruang
kantin lebih besar. Bukan hanya mahasiswa yang diuntungkan, pihak kampus
pun meraup untung dari sewa tempat para penjaja makanan di kantin.
Kampus akhirnya seperti pasar, ramai tawaran dan permintaan makan-minum
dari mahasiswa yang lapar atau sekadar nongkrong. Bergaya. Ruang kampus
makin sesak dengan transaksi dan ekspresi gaya hidup mahasiswa.
Bagaimana dengan pusat studi? Dijamin, perpustakaan, majelis diskusi,
seminar, dialog, dan lain-lain adalah tempat terasing dan singgahan
terakhir bagi mahasiswa ketika ada tuntutan akademis: menulis makalah
atau skripsi. Ia bukan ruang singgahan yang asyik untuk memanjakan diri.
Perpustakaan adalah kegelapan yang sepi peminat. Padahal, ia merupakan
jantung perguruan tinggi.
Sering Dibungkam Ruang-ruang sepi senyap itu hanya dinikmati kalangan
mahasiswa yang merasa “terpaksa” melakoni diri sebagai rakyat kampus.
Ada ejeken sinis dari sementara mahasiswa bahwa menghadiri acara-acara
“tak bergaya” itu tidak menjamin masa depan. Perguruan tinggi juga
kurang melirik aktivitas mereka. Tak ada kebijakan infrastruktur
bermakna yang mewadahi komunitas-komunitas diskusi dan kelompok studi
mahasiswa, yang dihuni rakyat kampus “terpaksa” itu. Sulit menemukan
gedung yang khusus diperuntukkan bagi diskusi atau pentas seni,
misalnya.
Dalam beberapa kasus, aktivitas mereka malah sering kali dibungkam
secara birokratis. Teriakan pers mahasiswa acap tak didengar, bahkan
dibungkam. Untuk menghadirkan pembicara dalam sebuah diskusi, kelompok
kritis itu harus beraudiensi dulu dengan pengelola kampus, bila tidak
ingin mendapatkan resistensi birokratis. Akhirnya, tak jarang hasrat
intelektual mereka dikebiri. Hidup di kampus makin tak nyaman, kian
tidak aman pula. Karena ketidaknyamanan yang kian tidak aman, mereka
keluar kampus mencari napas kebaruan. Justru ketika bergabung dengan
kelompok luar itulah mereka lebih bisa mengembangkan diri dan terbuka,
baik untuk mencari proyek maupun mengembangkan sayap intelektual.